watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

MIRNA MENANTU YG SEXY

Berdiri di depan pintu rumahku, menantu
permpuanku, Mirna, mendekatkan kepalanya ke
arahku dan berbisik, “Kalau Ayah mau… aku
nggak menolak.” Dia memberiku sebuah
kecupan ringan di pipi, dan berbalik lalu berjalan
menyusul suami dan anaknya yang sudah lebih
dulu menuju ke mobil. Yoyok menempatkan
bayinya pada dudukan bayi itu, dan seperti
biasanya, dia terlalu jauh untuk mendengar apa
yang dibisikkan istrinya tercintanya terhadap
Ayah kandungnya.
Mirna melenggang di jalan kecil depan rumah
dengan riangnya bagai seorang gadis remaja
yang menggoda. Yoyok tak mengetahui ini juga,
ini semua dilakukan istrinya hanya untukku…
Mungkin kalian mengira aku terlalu mengada-ada
soal ini, tapi kenyataannya apa yang Mirna
lakukan ini tidak hanya sekali ini saja. Dan sejak
aku tak terlalu terkejut lagi, aku merasa ada
sesuatu yang hilang jika dia tidak melakukannya
saat berkunjung ke rumahku. Aku merasa ada
getaran pada penisku, dan sebagai seorang lalaki
biasa yang masih normal, pikiran ‘andaikan…’
yang wajar menurutku selalu hadir di benakku.
Mirna adalah seorang wanita yang bertubuh
mungil, tapi meskipun begitu ukuran tubuhnya
tersebut tak mampu menutupi daya tarik
seksualnya. Sosoknya terlihat tepat dalam
ukurannya sendiri. Dia mempunyai rambut
hitam pekat yang dipotong sebahu, dia sering
mengikatnya dengan bandana. Dia memiliki
energi dan keuletan yang sepengetahuanku tak
dimiliki orang lain. Sebuah keindahan nan elok
kalau ingin mendiskripsikannya. Dia selalu sibuk,
selalu terlihat seakan dikejar waktu tapi tetap
selalu terlihat manis. Dia masuk dalam kehidupan
keluarga kami sejak dua tahun lalu, tapi dengan
cepat sudah terlihat sebagai anggota keluarga
kami sekian lamanya.
Yoyok bertemu dengannya saat masih kuliah di
tahun pertama. Mirna baru saja lulus SMU,
mendaftar di kampus yang sama dan ikut
kegiatan orientasi mahasiswa baru. Kebetulan
Yoyok yang bertugas sebagai pengawas dalam
kelompoknya Mirna. Seperti yang sering mereka
bilang, cinta pada pandangan pertama.
Mereka menikah di usia yang terbilang muda,
Yoyok 23 tahun dan Mirna 19 tahun. Setahun
kemudian bayi pertama mereka lahir. Aku ingat
waktu itu kebahagian terasa sangat menyelimuti
keluarga kami. Suasana saat itu semakin
membuat kami dekat. Mirna mempunyai selera
humor yang sangat bagus, selalu tersenyum
riang, dan juga menyukai bola. Dia sering terlihat
bercanda dengan Yoyok, mereka benar-benar
pasangan serasi. Dia selalu memberi semangat
pada Yoyok yang memang memerlukan hal itu.
Yoyok dan Mirna sering berkunjung kemari,
membawa serta bayi meraka. Mereka telah
mengontrak rumah sendiri, meskipun tak terlalu
besar. Aku pikir mereka merasa kalau aku
membutuhkan seorang teman, karena aku
seorang lelaki tua yang akan merasa kesepian
jika mereka tak sering berkunjung. Disamping
itu, aku memang sendirian di rumah tuaku yang
besar, dan aku yakin mereka suka bila berada
disini, dibandingkan rumah kontrakannya yang
sempit.
Ibunya Yoyok telah meninggal karena kanker
sebelum Mirna masuk dalam kehidupan kami.
Sebenarnya, tanpa mereka, aku benar-benar
akan jadi orang tua yang kesepian. Aku masih
sangat merindukan isteriku, dan bila aku terlalu
meratapi itu, aku pikir, kesepian itu akan
memakanku. Tapi pekerjaanku di perkebunan
serta kunjungan mereka, telah menyibukkanku.
Terlalu sibuk untuk sekedar patah hati, dan terlalu
sibuk untuk mencari wanita untuk mengisi sisa
hidupku lagi. Aku tak terlalu memusingkan
kerinduanku pada sosok wanita. Tak terlalu.
Bayi mereka lahir, dan menjadi penerus
keturunan keluarga kami. Kami sangat
menyayanginya. Dan kehidupan terus berjalan,
Yoyok melanjutkan pendidikannya untuk gelar
MBA, dan Mirna bekerja sebagai Teller di sebuah
Bank swasta.
Kunjungan mereka padaku tak berubah
sedikitpun, cuma bedanya sekarang mereka
sering membawa beberapa bingkisan juga.
Tentu saja, diasamping itu juga perlengkapan
bayi, beberapa popok, mainan dan makanan
bayi.
Beberapa bulan lalu Mirna dan bayi mereka
datang saat Yoyok masih di kelasnya. Dia duduk
disana menggendong bayinya di lengannya. Dia
sedang berusaha untuk menidurkan bayinya.
Aku tak tahu caranya, tapi pemandangan itu
entah bagaimana telah menggelitik kehidupan
seksualku.
“Ngomong-omong… kapan Ayah akan segera
menikah lagi?” dia bertanya dengan getaran pada
suaranya.
“Aku tak tahu. Aku kelihatannya belum terlalu
membutuhkan kehadiran seorang wanita dalam
hidupku. Lagipula, aku telah memiliki kalian yang
menemaniku.”
“Aku tidak bicara tentang teman. Aku sedang
bicara soal seks.” matanya mengedip kearahku
saat dia bicara.
“Apa?”
“Ayah tahu, seks.” dia hampir saja tertawa
sekarang. “Ketika seorang lelaki dan wanita
sudah telanjang dan memainkan bagiannya
masin-masing?”
“Ya, aku tahu seks,” aku membela diri. “Lagipula
kamu pikir darimana suamimu berasal?”
“Yah, aku hanya khawatir kalau Ayah sudah
melupakannya. Maksudku, apa Ayah tak
merindukan hal itu?”
“Terima kasih atas perhatianmu, tapi aku sudah
terlalu tua untuk hal seperti itu.”
“Hei! Lelaki tak pernah bosan dengan hal itu.
Setidaknya begitulah dengan putramu.”
“Anakku jauh lebih muda dariku, dan dia
mempunyai seorang istri yang cantik.”
“Terima kasih, tapi aku masih tetap menganggap
Ayah membutuhkannya,” dia menekankan
suaranya pada kata ‘Ayah’.
“Terima kasih sudah ngobrol,” kataku, masih
terdengar sengit. Ada sedikit jeda pada
perbincangan itu, saat dia masih menekan
kehidupan seksualku. Aku pikir bukanlah
urusannya untuk mencampuri hal itu meskipun
kadang aku membayangkannya juga.
Dia pandang bayinya, yang akhirnya tertidur,
dan memberinya sebuah senyuman rahasia,
sepertinya mereka berdua akan berbagi sebuah
rahasia besar. Masih memandangnya, tapi dia
berbicara padaku, “Kalau Ayah mau… aku nggak
menolak.”
“Apa!!!?”
“Aku serius.” Mirna menatapku. “Kalau Ayah
menginginkan aku… Ayah adalah seorang lelaki
yang tampan. Ayah membutuhkan seks.
Disamping itu, aku bersedia, kan?”
Aku pikir dia sedang bercanda. Tapi wanita yang
menggoda ini tidak sedang main-main. Tapi
tetap saja tak mungkin aku melakukannya
dengan istri dari anak kandungku sendiri.
“Terima kasih atas tawarannya, tapi kupikir aku
akan menolak tawaranmu.” suaraku terdengar
penuh dengan keraguan saat mengucapkannya.
Mirna mencibirkan bibir bawahnya, aku tak bisa
menduga apa yang sedang dirasakannya. Dia
tetap terlihat menawan, dan aku merasa Yoyok
sangat beruntung.
Dia bicara dengan pelan. “Dengar, Yoyok tak
akan tahu. Maksudku, aku tak akan
mengatakannya kalau Ayah juga menjaga
rahasia. Dan bukan berarti aku menawarkan
diriku pada setiap lelaki yang kutemui. Aku bukan
wanita seperti itu dan aku bisa mengatur agar
sering berkunjung kemari. Dan aku tahu Ayah
menganggapku cukup menarik kan, sebab aku
sering melihat Ayah memandangi pantatku.”
Aku tak mungkin menyangkalnya. Mirna
mungkin tak terlalu tinggi, tapi dia memiliki
bongkahan pantat yang indah diatas kedua
kakinya. “Ya, kamu memang memiliki pantat
yang indah. Tapi itu bukan berarti kalau aku ingin
berselingkuh dengan menantuku sendiri.”
Dia berhenti sejenak, tapi Mirna kelihatannya tak
akan menyerah begitu saja. “Yah, tapi jangan
lupa. “Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Dan itulah awal dari semua ini.
Seiring minggu yang berlalu, entah di sengaja
atau tidak, dia seakan selalu berusaha untuk
menggodaku, membuat puting sususnya
menyentuh dadaku saat dia menyerahkan
bayinya padaku untuk ku gendong. Atau dia
masukkan jarinya di mulutnya saat Yoyok tak
melihat, dan menghisapnya dengan pandangan
penuh kenikmatan ke arahku. Suatu waktu dia
duduk di lantai dengan kaki menyilang dan
sedang bermain dengan bayinya, dia
memandangku tepat di mata, tersenyum, dan
menyentuh pangkal paha di balik celana
jeansnya. Aku tak akan melupakan hal itu. Dan
dia entah bagaimana selalu menemukan cara
untuk berduaan denganku walaupun sesaat, dan
dia memberiku ciuman singkat yang penuh
gairah, tepat di bibir. Itu semua dilakukannya
berulang-ulang.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia
berbisik di belakang Yoyok saat suaminya itu
sedang memasukkan DVD pada player.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia
berbisik saat mendekat untuk menyodorkan
minuman padaku.
“Kalau Ayah mau… aku nggak menolak,” dia
membisikkannya setiap kali dia berpamitan.
Dan sekarang, aku bukanlah terbuat dari batu,
dan aku tak akan bilang tingkah lakunya itu tidak
memberikan pengaruh terhadapku. Mirna sangat
manis dan mungil, dan meskipun setelah
melahirkan bayi pertamanya tak membuat
tubuhnya berubah seperti kebanyakan wanita.
Dia tetap langsing, dan manis, dan dia
menawarkan dirinya untuk kumiliki. Tapi aku tak
akan memulai langkah pertama untuk tidur
dengan menantuku sendiri, tak perduli semudah
apapun itu.
Setidaknya itulah yang tetap kukatakan pada
diriku sendiri.
Beberapa minggu yang lalu kami semua
berkumpul di rumahku untuk melihat
pertandingan bola. Aku mengambil beberapa
kaleng minuman dan sedang berada di dapur
untuk menyiapkan beberapa makanan ringan
saat Mirna muncul dari balik pintu itu.
“Hai!” sapanya, membuka pintu dan masuk ke
dapur. “Ayah sudah siap untuk pertandingan
nanti?”
“Hampir. Aku sedang membuat makanan untuk
keluarga kecil kita, dan aku punya beberapa
wortel untuk cucuku. Aku pikir dia akan suka dan
warnanya sama dengan kesebelasan yang akan
bertanding nanti, kan?
Mirna tertawa dan berkata. “Aku rasa dia tak akan
perduli. Disamping itu bukankah ada hal lain
yang lebih baik yang bisa Ayah kerjakan
untukku?”
“Jangan menggodaku. Aku seorang kakek dan
aku akan lakukan apa yang menurutku akan
disukai oleh cucuku.” aku memandangnya.
Mirna berdiri di sana memakai bandana merah
kesukaannya diatas rambutnya yang sebahu. Dia
memakai kaos yang sedikit ketat yang bahkan
tak sampai ke pinggangnya, dan pusarnya
mengedip padaku dibalik kaosnya. Kancing
jeansnya membuatnya kelihatan seperti anak-
anak diera bunga tahun 60an, dan dia memakai
sandal dengan bagian bawah yang tebal yang
menjadikannya lebih tinggi sepuluh centi. Kuku
kakinya dicat merah senada dengan lipstiknya,
dan itu menjadi terlihat dengan sangat menarik
dibalik denimnya. Dia selalu suka mengenakan
perhiasan, dan dia memakainya pada leher,
telinga, pergelangan tangan dan bahkan di jari
kakinya. Dia membuatku berandai-andai jika saja
aku masih remaja, jadi aku dapat memacari
gadis sepertinya. Mungkin suatu waktu nanti aku
harus pergi ke kampus dan mencari gadis-gadis.
Khayalanku terhenti saat menyadari kalau Yoyok
dan bayinya tidak mengikutinya masuk. “Mana
anggota keluargamu yang lainnya?” aku
bertanya ingin tahu.
“Mereka akan segera datang. Yoyok pergi ke toko
perkakas untuk membeli peralatan mesin cuci
yang rusak. Dia ingin membawa serta anaknya.
‘Perjalanan ke toko perkakas yang pertama
bersama Ayah’ kurasa yang dikatakannya
padaku.” dia tersenyum. “Apa Ayah
mempermasalahkan saat pertama kalinya
mengajak Yoyok ke toko perkakas?”
“Aku tak ingat,” aku berkata dengan garing.
Mirna mendekat padaku, dan menaruh
tangannya melingkari leherku. “Ini kesempatan
Ayah. Kalau Ayah mau… aku nggak menolak.”
Mirna memandangku tepat di mata dan
mengangkat tubuhnya dan menciumku lama
dan liar. Aku ingin mendorongnya, tapi aku tak
tahu dimana aku harus menaruh tanganku. Aku
tak mau menyentuh pinggang telanjang itu, dan
jika aku menaruh tanganku di dadanya aku pasti
akan menyentuh puting susunya. Saat aku
masih terkejut dan bingung, aku temukan diriku
menikmati ciumannya. Ini sudah terlalu lama,
dan aku merasa telah lupa akan rasa lapar yang
mulai tumbuh dalam diriku.
Akhirnya aku menghentikan ciuman itu dan
mundur dan melepaskan tangannya dari
leherku. “Kita tak bisa melakukannya.” aku
mencoba menyampaikannya dengan lembut,
tapi aku takut itu kedengaran seperti rajukan.
“Ya kita bisa.” Mirna kembali menaruh lengannya
di leherku dan mendorong bibirku ke arahnya.
Ada gairah yang lebih lagi dalam ciuman kali ini,
dan akhirnya penerimaanku. Kali ini saat kami
berhenti, ada sedikit kekurangan udara diantara
kami berdua, dan aku semakin merasa sedikit
bimbang.
Mirna memandangku dengan binar di matanya
dan sebuah senyuman di bibirnya. “Ayah
menginginkanku. Aku bisa merasakannya. Ayah
tak mendapatkan wanita setahun belakangan ini,
dan Ayah tak mempunyai tempat untuk
melampiaskannya. Dan aku menginginkan Ayah.
Jadi tunggu apa lagi…”
Pada sisi ini aku tak mampu berkomentar. Aku
menginginkannya. Tapi aku tak dapat meniduri
menantuku, bisakah aku? Tapi aku menginginkan
dia. Aku merasa pertahananku melemah, dan
saat Mirna menciumku lagi, aku jadi sedikit
terkejut saat menyadari diriku membalas
ciumannya dengan rakus.
“Mmmmm. Itu lebih baik,” katanya saat kami
berhenti untuk mengambil nafas. Mirna menarik
tangannya dari leherku dan mulai melepaskan
kancing celanaku saat menciumku kembali lalu
dia mundur. Jadi dia bisa melihat saat dia
melepaskan kancing jeansku, menurunkan
resletingnya, dan merogoh ke dalam untuk
mengeluarkan barangku. Aku terkejut saat
terlihat jadi tampak lebih besar di genggaman
tangannya yang kecil. Setahun sudah tak
disentuh oleh wanita , dan bereaksi dengan
cepat, menjadi keras dan cairan pre-cumnya
keluar saat dia mengocoknya dengan lembut.
Mirna mundur dan duduk. Saat kepalanya turun,
dia menempatkan bibirnya di pangkal penisku
yang basah. “Aku rasa aku menyukai
bentuknya,” bisiknya sambil menatap mataku.
Lalu kemudian dia membuka mulutnya dan
dengan perlahan memasukkan penisku ke dalam
mulutnya. Ke dalam dan lebih dalam lagi penisku
masuk dalam mulutnya yang lembut, hangat
dan basah, dan aku merasa berada di dalam
vagina yang basah dan kenyal saat lidahnya
menari di penisku. Akhirnya aku merasa telah
berada sedalam yang ku mampu, bibirnya
menyentuh rambut kemaluanku dan kepala
penisku berada entah di mana jauh di
tenggorokannya. Penisku tanpa terasa
mengejang, dan pinggangku bergerak
berlawanan arah dengannya, dan bersiap untuk
menyetubuhi wajahnya.
Tapi Mirna perlahan menjauhkan mulutnya
dariku, menimbulkan suara seperti sedang
mengemut permen. Saat dia bangkit untuk
menciumku lagi, aku mengarahkan tanganku
diantara pahanya. Aku gosok jeansnya dan dia
menggeliat karenanya. “Mmmm, itu pasti
nikmat,” katanya. “Tapi biar aku membuatnya
jadi lebih mudah.”
Mirna melepaskan kancing celananya dan
menurunkan resletingnya, memperlihatkan
celana dalam katunnya yang bergambar
beruang kecil. Diturunkannya celananya dan
melepaskannya dari tubuhnya. Kami melihat ke
bawah pada area gelap dibawah sana dimana
kewanitaannya bersembunyi, dan kemudian aku
sentuh perutnya yang kencang dan terus
menurunkan celana dalamnya.
Mirna mengerang dalam kenikmatan saat
tanganku mencapai sasarannya dibalik celana
dalamnya. Vaginanya serasa selembut pantat
bayi, dan aku sadar kalau dia pasti telah
mencukurnya sebelum kemari. Terasa basah
dan licin oleh cairan kewanitaannya dan
membuatku kagum karena itu tak menimbulkan
bekas basah di luar jeansnya. Saat tanganku
menyelinap dibalik bibir vaginanya dan
menyentuh klitorisnya yang mengeras, dia
memejamkan matanya dan menekan
berlawanan arah dengan jariku.
Mirna menaruh salah satu tangannya di leherku
dan mendorong kami untuk sebuah ciuman
intensif berikutnya sedangkan tangannya yang
lain mengocok penisku dan tanganku terus
bergerak dalam lubang basahnya. Saat kami
berhenti untuk bernafas, Mirna mundur dan
mengatakan sesuatu yang mengejutkan, “Yoyok
datang.”
Aku segera melepasnya dan menuju jendela. Ya,
mobil Yoyok terlihat di jalan sedang menuju
kemari. Mirna pasti melihatnya dari balik bahuku
saat kami saling mencumbui leher. Tiba-tiba
perasaan bersalah datang menerkam karena
hampir saja ketahuan. Aku tak percaya apa yang
hampir saja kami lakukan. Dengan tergesa-gesa
aku kenakan kemabali celanaku, tapi Mirna
menghentikanku dan menangkap tanganku dan
melanjutkan kocokannya.
“Hei, tidak boleh. Tak semudah itu Ayah boleh
mengakhirinya. Aku telah menunggu terlalu
lama untuk ini.”
“Tapi Yoyok hampir datang! Dia akan melihat
kita!”
Mirna mengeluarkan penisku dan berjalan ke
arah meja dapur. “Ini perjanjiannya,” katanya.
“Aku tak akan mengadu pada Yoyok tentang apa
yang baru saja kita lakukan kalau Ayah dapat
dapat mengeluarkan seluruh sperma Ayah
dalam vaginaku sebelum dia sampai kemari.”
Sambil berkata begitu, dia menurunkan
celananya hingga lutut dan membungkuk di
meja itu.
“Dia segera datang!” hampir saja aku teriak.
“Tidak.” Mirna membentangkan kakinya sejauh
celananya memungkinkan untuk itu dan dia
memandangku lewat bahunya. “Dia harus
menggendong bayi dan mengeluarkan semua
barangnya. Biasanya dia memerlukan beberapa
menit. Sekarang kemarilah dan setubuhi aku.”
Mirna telah telanjang dari pinggang hingga kaki,
dan dia memohon padaku agar segera
memasukkan diriku dalam tubuhnya. Aku
menatap dua lubang yang mengundang itu.
Pantatnya begitu kencang dan aku tak terusik
saat melihat lubang anusnya yang berkerut
kemerahan, dan di bawahnya, bibir vaginanya
yang merah, terlihat mengkilap basah. Kakinya
tak sejenjang model, tapi lebih kecil dan terasa
pas, dan aku membayangkan bercinta
dengannya beberapa jam.
Tangannya bergerak kebelakang diantara
pahanya dan menempatkan tangannya pada
vaginanya. Dengan dua jarinya dilebarkannya
bibir vaginanya hingga terbuka, dan aku dapat
melihat lubang merah mudanya mengundang
penisku agar segera masuk. “Ayo,” katanya.
“Ambil aku.”
Aku tak tahu apa dia sedang bercanda saat
mengatakannya. Yoyok atau bukan, rangsangan
ini lebih dari cukup untuk mereguk birahinya.
Aku melangkah ke belakang menantuku dan
menempatkan penisku di kewanitaannya. Saat
aku mendorong penisku melewati lubang
surganya yang sempit, aku dapat merasakan jari
Mirna menahan bibir madunya agar tetap
terbuka, dan dia melenguh saat aku memegang
pinggangnya dan memasukkan diriku padanya.
Mirna telah sangat basah hingga aku dengan
mudah melewati vagina mudanya yang sempit.
Aku mulai mengayunkan barangku di dalamnya,
sebagian didorong oleh nafsu akan tubuh
menggairahkannya dan sebagian oleh rasa takut
jika Yoyok memergoki kami. Mirna mengerang,
dan aku dapat merasakan jarinya menggosok
kelentit dan bibir vaginanya sendiri. Nafasnya
mulai tersengal, dan setelah beberapa goyangan
dariku, dia segera orgasme. Suara rengekan
pelan keluar dari bibirnya saat dia
mencengkeram pinggiran meja dengan kuat,
dan letupan orgasmenya menggoncang kami
berdua saat aku menghentaknya.
Itu cukup untuk menghantarku. Aku tak
berhubungan dengan wanita dalam setahun ini,
dan aku belum pernah mendapatkan yang
sepanas Mirna. Aku menahan nafas dan
mendorong seluruh kelaki-lakianku ke dalam
dirinya. Kami mematung, dan kemudian
spermaku menyemprot dengan hebat jauh di
dalam surganya. Serasa aku telah
mengguyurnya dengan sperma yang panas dan
berlebih. Dia mengerang dalam nikmat,
menggetarkan pantatnya di seputar penisku saat
aku mengosongkan persediaan benihku. Dia
melemah seiring dengan habisnya spermaku,
dan kami akhirnya berhenti bergerak, kecuali
untuk mengambil nafas.
Takut Yoyok akan datang sebelum kami sempat
melepaskan diri, aku keluarkan diriku dari
tubuhnya dengan bunyi plop yang basah, lalu
mundur menjauh dan mengenakan celanaku.
Mirna masih tetap berbaring tertelungkup di atas
meja merasakan kehangatan campuran cairan
birahi kami, pantat telanjangnya masih tetap
memanggilku. Aku lihat spermaku dan cairannya
mulai meleleh keluar dari bibir surganya. Aku
palingkan muka dan melihat Yoyok hampir
sampai di pintu belakang, bayi di tangan yang
satu dan belanjaan di tangan lainnya.
Aku berbalik dan memohon pada Mirna. ”
Ayolah!” kataku. “Kamu telah dapatkan
keinginanmu. Dia hampir sampai kemari.”
Mirna bangkit, tatapan matanya masih kelihatan
linglung. Dia bergerak ke depanku, menjadikanku
sebagai penghalang dari pandangan suaminya
saat dia dengan tergesa-gesa memakai
celananya.
“Apa kalian sudah siap untuk pertandingannya?”
tanya Yoyok sambil membuka pintu.
“Ya,” aku menjawab dari balik punggungku saat
aku diam untuk menghalangi Mirna yang
menaikkan resletingnya. Setelah dia selesai, aku
segera berbalik untuk menyambut Yoyok.
“Ini,” katanya, menyodorkan bayinya padaku
dan meletakkan belanjaannya diatas meja dapur.
“Urus ini, aku akan mengambil popok bayi.”
Yoyok melangkah ke pintu yang masih terbuka,
dan aku menghampiri Mirna. Dia masih terlihat
sedikit linglung.
“Hampir saja,” kataku.
“Sini, biar aku yang menggendongnya.”
Aku berikan bayinya. Mirna memberiku
pemandangan seraut wajah dari seorang wanita
yang puas sehabis bersetubuh, dan memberiku
ciuman hangat yang basah.
“Masih ada satu hal lagi yang harus
kuketahui,”katanya.
“Apa itu?”
“Kalau aku ingin, bisakah aku
mendapatkannya besok?”
Dan dia melenggang begitu saja tanpa
menunggu jawabanku yang hanya melongo
bengong. Dia yakin kalau akan bersedia…


Adult | GO HOME | Exit
1/2616
U-ON

inc Powered by Xtgem.com